• Sumpit Dayak


    Sumpit yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut 'sipet' merupakan senjata tradisional yang sudah dikenal sejak jaman dahoeloe kala. Sipet terbuat dari kayu ulin yang dibentuk dan dilobangi bagian dalamnya sehingga menyerupai pipa lurus, dengan ukuran diameter bagian luar sekitar 3 cm, diameter rongga dalam sekitar 0,75 cm dan panjang sekitar 200 cm. Setelah diraut dan digosok sampai rapi, biasanya kayu ulin tersebut menjadi berwarna hitam mengkilat sehingga permukaannya mirip seperti logam. Pada bagian ujung depan pipa tadi dipasang dua macam aksesori yang terbuat dari besi, yaitu di sisi sebelah bawah dipasang mata tombak yang tajam, dan pada sisi sebelah atas dipasang besi kecil menyerupai pisir pada ujung laras senjata api, yang berguna sebagai alat bantu untuk membidik sasaran. Kedua aksesori tersebut dilekatkan pada batang sipet menggunakan rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, kuat dan artistik. Bagian permukaan batang sipet terkadang dihiasi dengan ukiran relief atau ornamen dengan motif khas Dayak.

    Kegunaan utama sipet adalah sebagai senjata atau alat berburu, walaupun bisa juga digunakan sebagai senjata pada saat berperang. Sebagai senjata, ia dilengkapi dengan peluru yang dimasukkan ke dalam lobang laras dan dilontarkan ke arah sasaran dengan cara ditiup menggunakan mulut. Jenis pelurunya ada 2 macam. Jenis pertama terbuat dari tanah liat dalam keadaan setengah basah dibentuk berupa bola-bola kecil sebesar ukuran lubang laras, biasanya digunakan untuk jarak dekat (sekitar 5 meter) untuk berburu binatang kecil misalnya tupai dan burung-burung yang terbang rendah. Jenis peluru yang kedua disebut damek atau lahes, terbuat dari bilah bambu yang diruncingkan seperti anak panah dan di bagian belakangnya dipasang potongan kayu gabus untuk mengatur arah, kurang lebih berfungsi sama dengan bulu angsa yang dipasang pada shuttlecock (bola badminton). Lahes tersebut dibuat dalam jumlah banyak, disimpan di dalam tabung bambu yang sudah diisi dengan cairan 'bisa atau racun' dari binatang liar, sehingga apabila melukai sedikit saja tubuh hewan sasaran akan langsung mematikan. Biasanya lahes digunakan untuk berburu hewan yang lebih besar, misalnya kancil, kijang atau hewan primata (misalnya monyet dll) yang tinggal di atas pohon-pohon tinggi.
    Suatu hal yang unik pada sumpit ialah ketika pelurunya dilontarkan menuju sasaran, tidak akan terdengar bunyi apapun yang membuat sasarannya mengetahui dari mana sumber asal serangan. Hal ini berbeda dengan senapan atau senjata api. Konon hal ini jugalah yang membuat Belanda kewalahan dalam perang gerilya melawan suku Dayak di Kalimantan. Kita tahu bahwa sebagai bangsa Eropah, orang Belanda itu mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap setiap hal yang belum dimengerti olehnya. Suatu ketika pasukan serdadu Belanda melintasi hutan. Kebetulan tidak jauh dari situ ada beberapa orang suku Dayak sedang mengintai. Merekapun melontarkan peluru sumpit dari tanah liat yang sengaja diarahkan pada sebatang pohon di depan salah seorang serdadu Belanda. Para serdadu tadi langsung berkerumun meneliti benda apakah gerangan yang tiba-tiba melesat di depan hidungnya. Ketika mereka asyik berkerumun itulah mereka diserang dengan peluru beneran, yaitu lahes yang mengandung racun
    .
    Pada masa kini, anak-anak Dayak di daerah pedalaman Kalimantan masing sering bermain perang-perangan menggunakan 'sumpit-sumpitan' yang terbuat dari ruas bambu kecil dengan peluru tanah liat. Meskipun maksudnya cuma sekedar main-main tapi sesekali peluru tanah tersebut sering juga tanpa disengaja mengenai tubuh lawan. Sakiiit, tapi asyik.
    "Makanya, tak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi prajurit Dayak itu seperti melawan hantu," tutur Pembina Komunitas Tarantang Petak Belanga, Chendana Putra, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2011).

    Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.

    Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali.

    Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat mendukung pergerakan mereka di hutan rimba.

    "Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda di Kalimantan umumnya umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota besar tapi tak menyentuh hingga pedalaman," Chendana.

    Tak hanya di medan pertempuran, sumpit tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau babi hutan tak akan bisa lari jauh. "Apalagi, tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat lagi," katanya.

    Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit karena rasanya pahit. Uniknya, hewan tersebut aman jika dimakan. "Mereka yang mengonsumsi daging buruan tak akan sakit atau keracunan," kata Chendana.

    Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari sambil terkencing-kencing.

    "Bukan sekadar istilah, dampak itu memang nyata secara harfiah. Orang atau binatang yang kena anak sumpit, biasanya kejang-kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas," tambah Chendana.
    Previous
    Next Post »

    Komentar yang menyertakan iklan, atau titip link, akan dimasukan ke Folder SPAM.

    Untuk pertanyaan di luar Topik Artikel silahkan kik OOT (apabila dipertanyakan di sini, mohon maaf apabila tidak dibalas). Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

    Terima kasih sudah berkomentar